Di lautan biru, makhluk cantik dan transparan melayang dengan anggun, menyerupai jamur terapung yang berkilau dengan cahaya misterius saat mereka berenang dengan anggun dan cantik.


Inilah ubur-ubur, makhluk yang memiliki struktur tubuh yang unik dengan badan lembut, tanpa tulang, terutama terdiri dari air.


Meskipun ubur-ubur terlihat lembut dan tidak berbahaya, mereka sebenarnya adalah karnivora yang ganas. Di bawah tubuh berbentuk payung mereka terdapat tentakel panjang dan tipis yang berfungsi sebagai organ pencernaan dan senjata. Tentakel ini dilapisi dengan ribuan sel beracun yang mampu menyuntikkan racun. Begitu mangsa tersengat, mereka dengan cepat menjadi lumpuh dan mati.


Mekanisme bioluminesensi ubur-ubur telah lama menjadi topik penelitian yang signifikan. Pada tahun 2008, Osamu Shimomura, seorang peneliti senior di Marine Biological Laboratory di Woods Hole, Amerika Serikat, dan Martin Chalfie, seorang profesor di Universitas Columbia, dianugerahi hadiah nobel di bidang kimia untuk studi mereka tentang topik ini.


Pada tahun 1960-an, seorang ilmuwan Jepang bernama Osamu Shimomura bertujuan untuk memahami mekanisme sinaran dari organisme bioluminescence. Osamu Shimomura memilih ubur-ubur kristal, yang dikenal karena memancarkan cahaya hijau, sebagai subjek penelitian. Osamu Shimomura bekerja tanpa lelah sepanjang musim panas, mencoba membuat sel ubur-ubur kristal bercahaya, namun tidak berhasil.


Pada suatu malam, setelah percobaan gagal lainnya, Osamu Shimomura membuang sampel protein ubur-ubur ke dalam wastafel laboratorium dan bersiap-siap pulang untuk makan malam. Saat Osamu Shimomura hendak pergi, dia melihat cahaya biru bersinar dari wastafel.


Karena masih ada air laut di wastafel, Shimomura menduga bahwa ada sesuatu di dalam air laut yang memicu cahaya tersebut. Osamu Shimomura dengan cepat menyadari bahwa pemicu tersebut adalah kalsium yang ada dalam air laut. Osamu Shimomura memberi nama protein bercahaya biru yang ditemukan dalam ubur-ubur kristal "aequorin."


Setelah terobosan besar ini, Osamu Shimomura dihadapkan pada pertanyaan yang membingungkan: Mengapa cahaya yang dihasilkan oleh ubur-ubur berwarna hijau, sementara aequorin memancarkan cahaya biru? Saat membersihkan protein aequorin, Shimomura mencari zat lain yang bisa menyebabkan ubur-ubur kristal memancarkan cahaya hijau.


Akhirnya, dia menemukan protein lain, molekul fluoresen yang menyerap cahaya biru dan mengubahnya menjadi cahaya hijau, tanpa memandang apakah cahaya biru berasal dari aequorin atau lampu tangan. Ini adalah penemuan menakjubkan lainnya, karena sebelumnya tidak diketahui bahwa ada protein yang mampu berfluoresensi. Awalnya, Osamu Shimomura menyebutnya "protein hijau," tetapi sekarang dikenal sebagai GFP (Green Fluorescent Protein).


Studi Osamu Shimomura tentang sinaran ubur-ubur mengungkap rahasia bioluminesensi dan menyediakan alat penting untuk penelitian biologi modern. Hari ini, GFP secara luas digunakan dalam ekspresi gen, penandaan sel, dan penelitian penyakit, dan telah menjadi alat yang tak tergantikan dalam eksperimen biologi molekuler. Penemuan ini memperlihatkan keajaiban alam dan menyoroti potensi tanpa batas dari eksplorasi ilmiah.


Banyak terobosan ilmiah utama berasal dari penemuan yang tak sengaja dan intuisi tajam para ilmuwan. Ketertarikan ini terhadap yang tidak diketahui dan perhatian terhadap detail yang mendorong pemahaman kita yang lebih dalam tentang dunia alam. Penemuan aequorin dan GFP tidak hanya menuliskan ulang sejarah ilmiah, tetapi juga menginspirasi banyak peneliti untuk terus menjelajahi misteri kehidupan, memberikan kebijaksanaan dan kekuatan pada perkembangan dan kemajuan masyarakat manusia.